Cerita Koyei dalam Bahasa Indonesia Di lembah kamuu daerah Makewaapa papua, hiduplah sekeluarga yang sangat miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Mereka tidak mempunyai kebun. Keluarga itu namanya Kibiuwo. Keluarga Kibiuwo terdiri atas lima orang yaitu Ibu Kibiuwo, nama anaknya yang pertama Neneidaba, nama anak yang kedua Noku, dan nama anak yang ketiga Yegaku. Anak yang pertama dan kedua adalah putra dan anak yang ketiga adalah anak putri. Nama ayahnya tidak pernah disebut-sebut sampai saat ini. Mereka tidak ada nota (ubi jalar); nomo (talas); digiyinaapo (sayur hitam); mege (kulit kerang yang dipakai sebagai mata uang adat) suku Mee; dedege (sejenis kulit kerang berwarna putih yang dipakai sebagai perhiasan leher); tidak ada ekina (babi) dan tidak ada segala keperluan lainnya. Pada saat itu makanan yang ada hanyalah moke, kadaka, digiyinaapo, dan muuti (goowe). Moke adalah tanah liat yang dapat dimakan pada saat itu yang rasanya manis. Kadaka adalah petatas atau ubi jalar pertama (asli) yang ada sebelum berbagai jenis ubi jalar diciptakan. digiyonaapo merupakan sayur hitam yang asli dan muuti adalah tebu asli. Keempat kebutuhan utama ini masih langka ketika itu. Saat itu, kebutuhan terbatas dan musim kelaparan berkepanjangan. Dengan kata lain krisis ekonomi berkepanjangan dalam keadaan miskin, lagi krisis ekonomi berkepanjangan keluarga Ibu Kibiuwo berada di dalam rumahnya. Mereka duduk berbincang-bincang tentang musim kelaparan yang berkepanjangan. Bagaimana cara mengatasinya? Ketika itu tiba-tiba Ibu Kibiuwo merasa hendak melepas air kemihnya. Dengan sendirinya, Ibu Kibiuwo serta-merta berdiri dan ke belakang rumah melepaskan air kemihnya. Dilihatnya, air kemihnya berwarna merah. Ia melepaskan air kemih darah persis di atas rerumputan yang rendah Dengan berperasaan takut dan heran, Ibu Kibiuwo memasuki rumah tanpa bersuara dan komentar, sebab ia bertanya dalam hatinya mengapa terjadi air kemih darah dari dalam dirinya sendiri sedemikian itu. Sebab tidak biasa dan tidak pernah terjadi dalam kehidupannya yang sudah berlalu. Baru pertama kali terjadi seperti itu. Tetapi Ibu Kibiuwo tidak menceritakan peristiwa seketika itu. Mereka melanjutkan perbincangannya mengenai masalah krisis perekonomian berkepanjangan, tiba-tiba terdengarlah suara tangisan bayi yang sedang dilahirkan. Begitu mereka mendengar suara tangisan itu, serta-merta berdirilah mereka untuk melihat dan memperhatikan suara tangisan itu. Tujuannya adalah mereka ingin mengetahui gerangan siapa bayi yang sedang menagis itu, oleh sebab itu, mereka keluar ke belakang rumahnya dan menuju ke arah tangisan bayi itu sambil mereka berjalan, perhatian mereka ke arah tangisan yang semakin dekat. Tetapi tidak tertampaklah seorang manusiapun, terutama kaum perempuan yang sedang melahirkan atau sedang duduk menyusuinya; atau berdiri menggendong dan membujuknya; ataupun melewati di tempat itu, atau membereskan posisi bayi yang letaknya salah, sehingga menyebabkan tangisan bertubi-tubi. Sementara melangkah ke arah tangisan itu; suara tangisannya bayi semakin keras; semakin lama semakin dekat tempat sumber tangisannya; tangisan semakin keras pula; akhirnya dengan mudah mereka mendapati seorang bayi laki-laki tergeletak di atas rerumputan rendah persis bekas air kemih darah Ibu Kibiuwo terjatuh. Suara tangisan merupakan undangan bagi keluarga Kibiuwo untuk menjemput kemunculan dan kehadiran bayi itu dan merupakan pertanda bahwa keluarga Kibiuwolah yang mendapatkannya. Bayi itu hendak hadir di dalam keluarga Kibiuwo yang termiskin, bukan keluarga yang lainnya, meskipun akhirnya hasil karyanya akan tersebar ke masyarakat suku Mee dan ke masyarakat suku bangsa yang lain. Tidak tanggung-tanggung dan berpikir panjang lebar Ibu Kibiuwo menunduk dan langsung mengangkat si bayi dari atas rerumputan rendah itu, sebab Ibu Kibiuwo teringat peristiwa “ air kemih darahnya” sendiri. Dia merasa air kemih darahnya memunculkan bayi itu, namun dia masih ragu. Oleh sebab itu, agar lebih jelas dan meyakinkan bahwa bayi itu berasal dari air kemih darahnya sendiri, maka ia menyuruh anak-anaknya pergi menanyakan kepada keluarga-keluarga tetangganya, kalau-kalau kaum ibu tetangganya sengaja meletakan ataupun membuang bayi itu persis di atas rerumputan rendah bekas air kemih darahnya Ibu Kibiuwo. Ternyata tidak demikian, malah keluarga-keluarga tetangganya berdatangan hendak menyaksikan kemunculannya dan kehadiran bayi laki-laki itu di dalam keluarga Kibiuwo sendiri. Setelah ibu-ibu tetangganya mengatakan bahwa bukan bayinya mereka, malahan mereka berdatangan untuk menyaksikannya. Dengan demikian, Ibu Kibiuwo benar-benar yakin bahwa bayi itu adalah bayi yang berasal dari air kemih darahnya sendiri dan ia merasa bayi ini pembawa berkat bagi keluarganya. Tetapi suaminya mengira bayi itu “ Ayayoka” artinya anak bayangan, atau anak roh; alasan ayahnya tidak mempunyai ayah dan ibunya yang jelas. Karena Ibu Kibiuwo tidak pernah menyampaikan informasi tentang air kemih darahnya, sebelum kemunculan bayi tersebut. Suaminya hendak membunuh bayi itu, namun Ibu Kibiuwo melarang keras suaminya untuk membunuh bayi itu. Akhirnya, suaminya mengerti atas larangan istrinya. Lalu Ibu Kibiuwo memeluk dan membelai bayi itu secara erat-erat untuk menyelamatkannya; melihat itu, suaminya meredam perasaan prasangka dan perasaan pembunuhan terhadap bayi yang tidak bersalah itu. Dengan sendirinya, suami itu memberi nama bayi itu sesuai dengan prasangkanya, yaitu “Ayayoka”. Keluarga Kibiuwo menerima kehadiran Ayayoka sebagai anaknya sendiri. Sejak Ayayoka hadir di dalam keluarga Kibiuwo sampai dengan umur enam bulan, anak itu tidak makan dan tidak minum. Setiap kali makanan dan minuman yang disuapkan ke dalam mulutnya, senantiasa dimuntahkannya, tetapi anak itu tetap sehat lagi mulus. Kedua orang tuanya dan anak-anaknya, memperhatikan Ayayoka semakin lama semakin sehat meskipun tetap berbadan kecil dan mulus. Karena melihat kondisi badan yang kecil dan mulus lagi sehat, ayahnya memberi nama baru bagi Ayayoka yaitu “Koyeidaba”. Maksud pemberian nama yang kedua ini adalah anak yang berbadan kecil, mulus dan tetap sehat. Nama kebanggaan ayahnya sebab anak yang berbadan kecil, mulus, tetap sehat walaupun tidak makan dan minum. Koyeidaba memasuki umur tujuh bulan, mulai berkarya melalui anusnya. Ia mengeluarkan sejumlah makanan dan harta serta ternak. Semua makanan, harta dan ternak dalam keadaan mentah dan hidup. Makanan yang dimaksud seperti ubi jalar mentah; talas mentah; ubi jalar yang panjang dan batangnya senantiasa terlilit pada pohon yang bertumbuh di sekitarnya); sayur hitam mentah; sayur gedi mentah; tebu mentah; pisang mentah; buah merah mentah; sayur lilin mentah dan lain-lain. Tujuan Koyei agar semuanya dapat dikembangbiakan. Berupa harta benda; kulit kerang yang dipakai sebagai uang adat suku mee; dedege (sejenis kulit kerang yang kecil berwarna putih untuk perhiasan leher); manik-manik biru tua yang dipakai sebagai perhiasan leher) dan lain-lain. Yang berupa ternak seperti: ekina ( babi ) yang masih hidup sebanyak dua ekor. Dengan adanya makanan, harta dan ternak di atas, yang sudah dikeluarkan melalui anusnya itu berkembang biak secara cepat dan keluarga Kibiuwo tiba-tiba menjadi kaya-raya sebanding dengan keluarga-keluarga tetangga yang tadinya orang berada, bahkan melebihi mereka yang tadinya kaya-raya. Atas berkat kehadiran Koyeidaba dan karyanya yang menyelamatkan keluarga Kibiuwo dari hidup kemiskinan, terhindar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Setelah keluarga itu menjadi kaya-raya, tersebarlah berita ke masyarakat, bahwa keluarga Kibiuwo tiba-tiba menjadi kaya-raya atas berkat Koyeidaba, dan yang menaruh perhatian bahwa Koyeidaba menjadi sumber kehidupan keluarga itu, maka timbul bermacam-macam pendapat di dalam kehidupan masyarakat. Ada orang yang berpendapat kehadiran Koyeidaba itu membawa berkat bagi keluarga Kibiuwo dan keluarga-keluarga lain pula, karena dengan sejumlah makanan yang dikeluarkan itu dapat tersebarlah ke seluruh masyarakat. Tidak sama seperti sebelumnya sangat terbatas. Ada orang yang mengatakan bahwa kehadiran Koyeidaba sebagai penyelamat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, karena ia menambah makanan, harta dan ternak. Tidak sedikit pula yang menyatakan Koyeidaba itu sebagai peredam makanan, harta, dan ternak, karena sedikit saja yang dikeluarkan untuk keluarga Kibiuwo. Ada orang yang menyatakan Koyeidaba adalah perampas, penghimpun, penghilang kekayaan suku Mee. Dan ada yang menyatakan Koyeidaba itu memperkaya keluarganya sendiri. Oleh sebab itu harus disingkirkan atau dibunuh. Ada yang menyatakan Koyeidaba itu hanya menciptakan segala keperluan bagi keperluan keluarga Kibiuwo sehingga mereka menjadi kaya-raya. Jadi, singkatnya Koyeidaba dicurigai bahwa dia adalah perampas, penghirup, penghilang, peredam, penghimpun dan peramas semua kekayaan masyarakat Mee, sehingga masyarakat menjadi miskin. Tadinya keluarga Kibiuwo termiskin, sekarang menjadi terkaya oleh sebab itu mereka sepakat membunuh Koyeidaba. Mereka cemburu buta. Mereka tidak mengerti karya penyelamatan dan penyempurnaan dari Koyeidaba. Namanya saja kecil tetapi karyanya besar terhadap kelurga Kibiuwo, keluarga yang berada, dan keluarga yang terkaya di dalam kehidupan suku Mee. Sementara itu Ibu Kibiuwo dan ayahnya meninggal dunia. Setelah sepeninggalnya kedua orang tuanya, segala urusan dalam keluarga diatur dan diurus oleh Koyeidaba. Tugas utama Koyeidaba dalam keluarganya menciptakan makanan, harta dan ternak. Pada saat itu mulai bertambah karya-karya penciptaan makanan, harta, dan ternaknya berlimpah ruah. Ketika itu juga kelompok iri hati bertambah banyak dan mereka mengabarkan isu palsunya bahwa sebelum Koyei musim kelaparan berkepanjangan dan masa Koyei berkarya, masyarakat Mee semakin berkekurangan, yang tadinya kaya, sekarang menjadi miskin, yang tadinya miskin, sekarang menjadi kaya-raya seperti keluarga Kibiuwo. Isu palsunya semakin lama semakin tersebar ke seluruh lapisan masyarakat Mee. Supaya karya penyelamatan dan penyempurnaan tampak ke masyarakat Mee dan masyarakat suku bangsa lainnya maka pada suatu hari Neneidaba dan Noku diutus oleh Koyeidaba untuk pergi mengambil “Touye Kapogeiye” (sebuah buku yang berisi seluruh adat istiadat kehidupan ) suku Mee, di dalamnya tertulis segala kebaikan dan kesempurnaan ciptaan koyei di suatu tempat yang jauh. Tempat itu yang tahu hanyalah Koyeidaba. Karena Koyei yang ciptakan buku kehidupan itu dan menyimpannya. Setelah mereka berdua berangkat ke tempat itu rumah kediaman mereka dikepung oleh orang-orang dari kalangan iri hati. Koyeidaba sempat meloloskan diri dari kepungan lalu melarikan diri ke arah gunung Odiyai, namun pengejar dan pemanah begitu banyak maka Koyeidaba tertahan dengan desakan tusukan anak panah pada lambungnya. Dan sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Koyei menyatakan “ sesungguhnya saya memberikan kamu makanan dan harta kekayaan, namun kamu tidak mengerti bahkan kamu membunuhku.Karena,itu sekarang kamu berusaha sendiri dengan bersusah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik, karena kamu akan diadili sesuai dengan setimpal perbuatanmu”. Sesudah itu, Koyeidaba menarik nafasnya yang terakhir. Ketika kakak Neneidaba dan Noku pulang sambil membawa Touye Kapogeiye, dari kejauhan terdengarlah ratapan adik Yegaku. Setelah terdengar ratapan adik perempuan Yegaku, kakak Neneidaba dan Noku bergegas-gegas ke rumah dan langsung bertanya kepada adik Yegaku mengapa menangis?. Sambil meratap adik Yegaku menjelaskan bahwa orang-orang di sekitarnya yang selalu iri hati terhadap karya penyelamatan dan penyempurnaan Koyei telah membunuh adik Koyeidaba dan lihatlah mayatnya. Adik Yegaku belum sempat menjelaskan dari awal pembunuhan, lagi pula kakak Neneidaba dan Noku belum duduk, malah pengejar dan pembunuh Koyei telah siap mengepung lagi terhadap kakak Neneidaba dan Noku. Begitu dikagetkan oleh kepungan, kakak Neneidaba dapat melarikan diri ke arah barat lalu sempat meloloskan diri masuk ke sebuah gua batu kemudian menghilang di situ. Kemudian pada waktu yang bersamaan, kakak Noku dapat melarikan diri ke arah timur tetapi sempat tertahan dengan desakan orang-orang pengejar dan pemanah adik Koyeidaba. Orang-orang itu menahan Noku. Noku memasrahkan dirinya sambil menggenggam erat-erat Touye Kapogeiye. Dia menyatakan silakan kamu memanahku di bagian punggungku, lalu mereka memanahnya pada bagian punggungnya. Sewaktu Noku dipanah, Noku sempat berteriak dan mengutuk mereka dengan ungkapan “too kabu togo kabu kiyayaikaine” (saya tinggalkan segala kegelapan dan keburukan bagimu). Walaupun Noku dipanah namun ia tidak mati, akan tetapi ia masuk ke dalam sebuah gua lalu tembus ke daerah yang lain (dunia barat). Orang-orang yang mengejar Noku dan Neneidaba dari arah timur dan barat kembali ke rumah kediaman Koyeidaba lalu menyembelih dua ekor babi lagi yang pernah keluar dari anus Koyeidaba itu. Kemudian mereka memotong kepala Koyeidaba dan kulit perut babi, mereka menutupkan lubang gua bagian timur, lantas kepala babi dan kulit perut Koyeidaba ditutupkan pada lubang gua bagian barat, sedangkan bagian daging Koyeidaba dan babi dimakan bersama oleh pembunuh dan pengejar Koyeidaba, Neneidaba dan Noku. Sesudah mereka makan bersama daging Koyeidaba dan babi, mereka pulang ke rumah masing-masing ditandai dengan tarian kegembiraan dan keberhasilan membunuh Koyeidaba. Nama tarian itu adalah “Yuuwaita”. Segala kerahasiaan Koyeidaba yang tersirat dan tersurat dalam buku Touye Kapogeiye, sedang dicari oleh sekelompok Suku Mee yang menamakan dirinya Utoumana (sekelompok etnis yang mengaku dirinya pencipta alat-alat budaya suku Mee).